Unspoken Word: Lack of Confidence


Peluh yang mengalir dikening, lidah yang kelu untuk berbicara dan detak jantung yang berdegup dengan kencangnya. Ada banyak pemikiran yang tertahan dimulut hingga agaknya mengendap dalam pikiran. #UnspokenWord, sebuah segmen yang saya buat sebagai wadah untuk mengungkapkan pikiran-pikiran saya yang belum mampu terucap.

Pada segmen ini saya akan membahas sebuah topik yang amat sangat umum yaitu tentang percaya diri. Percaya diri dapat diartikan sebagai suatu sikap atau perasaan yakin akan kemampuan diri sendiri sehingga orang yang bersangkutan tidak terlalu cemas dalam tindakan-tindakannya, merasa bebas untuk melakukan hal-hal sesuai keinginan dan bertanggung jawab atas perbuatannya, hangat dan sopan dalam berinteraksi dengan orang lain, memiliki dorongan berprestasi serta dapat mengenal kelebihan dan kekurangannya (Lauster, 2002).

Percaya diri adalah sesuatu yang dapat kita bentuk. Namun seringkali rasa percaya diri mudah sekali runtuh apabila seseorang memiliki base yang kurang kuat, terutama bagi mereka yang mungkin masih sulit mengenali diri sendiri. Imbas dari kurangnya percaya diri tentu saja beragam, apabila dilihat dari kasus saya yang pernah saya alami tentu saja kegagalan merupakan salah satu contohnya. Kemudian faktor apa saja yang menyebabkan rasa percaya diri tidak terbangun secara utuh atau sering kita sebut lack of confidence? Ada beberapa faktor baik secara internal maupun eksternal yang dapat mempengaruhi kurangnya rasa percaya diri. Pada sesi ini saya akan sebagian kecil penyebab lack of confidence berdasarkan dari pengalaman serta obrolan yang pernah saya lakukan dengan orang-orang disekitar saya.

1.       Physical Appearance
Penampilan merupakan salah satu poin yang digunakan sebagai kriteria dalam menilai seseorang. Contohnya ketika kita bertemu dengan client atau orang baru, mencari pasangan atau bahkan melakukan hal kecil seperti meminta bantuan. Kita hidup dimana stigma orang yang berpenampilan menarik haruslah seseorang yang memiliki badan ideal, tirus, tidak berjerawat, rambut lurus dan kulit putih. Padahal standar tersebut tidak pernah ada, standar tersebut muncul karena adanya evolusi atau tren yang bergembang di masyarakat.

Tidak dapat dipungkiri bahwa makhluk hidup termasuk manusia cenderung memilih sesuatu yang menarik perhatian secara visual. Analoginya, ketika hewan seperti singa cenderung memilih pasangan yang memiliki kekuatan fisik yang lebih kuat dibanding yang lemah. Hewan yang lemah akan tersingkir dan terkena imbas dari seleksi alam. Tidak terlalu beda dengan kehidupan masyarakat, standar yang dibentuk mengatasi keterbatasan yang ada dalam menilai sesuatu. Namun yang perlu kita sadari, kita tidak perlu memaksakan diri untuk selalu memenuhi kriteria standar yang ada dalam masyarakat. Kita bisa membuat penampilan kita menjadi menarik dalam banyak cara, contohnya memakai pakaian yang rapi, bersih dan wangi. Menjadi orang yang kurang berisi, terlalu gemuk atau memiliki disabilitas tidaklah masalah. Selama kita menerima dan mampu mencintai diri kita sendiri, percaya diri akan terbangun dengan sendirinya.

2.       Judging Habit
Manusia dilahirkan dengan intuisi, namun seringkali intuisi memunculkan asumsi yang tidak berdasar ketika kita berhadapan dengan suatu masalah. Output dari asumsi itu sendiri adalah penghakiman atau judging yang membuat kita mengambil suatu tindakan tertentu. Tindakan yang muncul dapat berupa pengabaian, penghindaran atau penarikan diri.

Dalam lack of confidence penarikan diri sering dilakukan ketika kita merasa orang lain dinilai lebih unggul daripada kita. Contohnya ketika melakukan interview, kita mungkin akan sedikit merasa segan ketika berhadapan dengan interviewer. Kita tidak tahu kemampuan interviewer namun karena posisi mereka lebih tinggi, kita berasumsi bahwa mereka memiliki pengalaman yang lebih. Hal itu tentu saja mempengaruhi cara kita bersikap, untuk sebagian orang bahkan akan muncul perasaan dihakimi dan takut salah ketika mengatakan atau berbuat sesuatu. At the end, judging memang tidak salah bahkan seringkali diperlukan dan dapat membantu kita memposisikan diri. Namun perlu digaris bawahi judging yang membuat kita menarik diri termasuk dalam insekuritas yang mana melemahkan percaya diri kita. Daripada terlarut dalam judging yang buat kita sendiri, alangkah lebih baik kalau kita menghentikan budaya judging untuk mencegah kesan inferior pada diri kita sendiri.

3.       Bad Communication Skill
Masalah ini adalah salah satu masalah yang paling sering dihadapi. Pernahkah kalian menghadiri suatu acara yang mengharuskan kalian berbicara, namun kalimat yang kita keluarkan justru tidak sesuai rencana. Atau katakanlah secara singkat kita memikirkan berbagai hal dari A-Z namun yang terucap hanya A. Yang paling buruk adalah ketika kita mulai tidak percaya diri ucapan kita juga cenderung “njelimet”(tidak langsung pada intinya) dan tidak berbobot serta tidak sesuai dengan apa yang ada di otak kita.

Jujur saja saya termasuk dalam golongan ini, saya sering menyiasati dengan selalu menyiapkan teks sebelum saya berbicara. Namun tetap saja kadang eksekusinya tidak berjalan dengan baik. Kemudian saya sadar bahwa ketidakmampuan saya dalam berkomunikasi muncul karena di kehidupan sehari-hari saya cenderung malas berbicara. Saya lebih suka berbicara langsung pada intinya dan seperlunya saja. Dalam hal ini saya sadar bahwa cara terbaik meningkatkan kemampuan berkomunikasi adalah dengan berlatih berbicara secara langsung. Contohnya dapat dilakukan dengan mengobrol dengan siapapun orang yang anda temui, kita bisa melakukan basa-basi, saling menyapa dengan sapaan bukan hanya dengan gesture. Atau untuk cara yang intens untuk suatu keperluan kita bisa berlatih berbicara di depan cermin. Saran saya pribadi, lebih saya anjurkan untuk berbicara langsung kepada orang lain. Hal ini akan membantu kita mengatasi situasi tidak terduga dan menghindari kecanggungan ketika berbicara.

Untuk memperbaiki kemampuan ini tentu saja tidak mudah, tidak seperti Bandung Bondowoso yang membangun candi dalam semalam. Perlu waktu dan latihan yang dilakukan secara terus menerus agar cara kita berkomunikasi dapat berkembang. Lalu apa hubungannya dengan percaya diri? Percaya diri menjadi dasar ketika kita mulai berbicara. Seringkali kita merasa malu dan enggan untuk berbicara ketika kita kurang percaya diri. Oleh karena itu berlatih berbicara secara tidak langsung juga berlatih memupuk percaya diri. Ketika kita tahu apa yang akan kita ucapkan dan tidak malu untuk memberikan respon, maka kepercayaan diri kita juga akan tersalurkan melalui kalimat yang kita ucapkan.

4.       Social Hierarchy
Paradigma orang yang kaya selalu lebih unggul dan memiliki privilege lebih dibanding yang lebih miskin. Privilege yang diperoleh dapat berupa kemudahan untuk diketahui oleh banyak orang, akses untuk berpergian yang lebih leluasa dan bebas memilih di circle mana ia bergabung. Tidak dipungkiri bahwa uang merupakan salah satu bagian dari gaya hidup. Utamanya dalam bergaul, orang cenderung membentuk lingkungan dengan status social yang sama. Namun kita tahu bahwa dalam hidup bermasyarakat, heteroginitas akan selalu ada. Sehingga apakah uang atau materi yang kita miliki dapat membuat kita lebih percaya diri? Jawabannya tentu kembali ke individu masing-masing.

Orang yang berasal dari status sosial yang lebih rendah seringkali merasa terintimidasi atau merasa aksesnya terbatas atau bahkan minder. Dalam konteks kepercayaan diri hal tersebut mungkin dapat menjadi sumber runtuhnya rasa percaya diri. Satu-satunya solusi dalam mengatasi hal tersebut adalah self acceptance. Bagaimana keadaan dan kondisi kita baik dalam kondisi yang bagus ataupun buruk, kita harus jujur dan menerima keadaan kita apa adanya. Dengan keberterimaan kita terhadap diri sendiri, pressure untuk membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain akan berkurang dengan sendirinya. Imbasnya kita akan lebih percaya diri karena status social hanya standar yang diciptakan oleh masyarakat.

5.       Afraid to Leave The Comfort Zone
Comfort zone dapat diartikan secara harfiah sebagai zona nyaman, dalam hal ini zona nyaman yang dimaksud adalah kondisi ketika kita sudah merasa aman dan nyaman dalam kondisi yang sudah ada. Variabel kenyamanan yang dimaksud dapat berupa pola pikir, kebiasaan ataupun cara kita melakukan sesuatu. Manusia cenderung merasa takut dan terancam ketika meninggalkan zona nyaman. Alasannya adalah ketidakbiasaan, takut untuk gagal serta negative selflove. Negative selflove cenderung mengekang individu untuk tetap bertahan atas apa yang ia miliki sekarang. Keadaan tersebut membuat individu sulit untuk berkembang. Contohnya pekerja A merasa sangat mahir dibidang X, sehingga ia enggan mengembangkan kemampuan lainnya padahal ia memiliki opportunity. Suatu saat muncul pekerja B yang mampu menguasai X dan Y secara bersamaan, mampu mengambil peran pekerja A.

Rasa percaya diri yang kurang membuat kita enggan untuk meninggalkan zona nyaman. Kita akan cenderung dihantui perasaan untuk gagal serta kondisi-kondisi lain yang sama sekali belum terjadi. Imbas lainnya overthinking. Namun yang perlu disadari bahwa kita adalah seseorang yang mampu mengendalikan diri kita. Analogikan kita adalah seorang supir, kita berhak menentukan jalan mana yang ingin kita ambil. Kalaupun kita belum mencapai tujuan, kita bisa mencari jalan lain untuk tetap sampai ke tujuan. Kalaupun kita tersesat, kita bisa menggunakan peta untuk kembali ke jalan yang benar.

Urgensi untuk memiliki percaya diri amatlah besar. Percaya diri mempengaruhi hal-hal apa saja yang kita lakukan. Bahkan seringkali orang yang capable melakukan sesuatu justru sering gagal karena ia tidak memiliki rasa percaya diri. Kuncinya adalah bersabar, membangun rasa percaya diri memang tidak mampu tumbuh dalam semalam. Oleh karena itu, kita yang masih struggling dengan masalah-masalah seperti poin-poin diatas hendaknya mampu mengenali diri kita lebih dalam dan mulai percaya dengan diri sendiri.

#SpreadLove and Have a nice day!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Rekrutmen HDP Harita Nickel

Pengalaman Rekrutmen MT Paragon